Perjanjian Dengan Maut - Religiusitas, Mitos dan Agama
8 jam lalu
Perjanjian Dengan Maut adalah novel yang menggambarkan pergumulan religiusitas, mitos dan agama yang dibalut perjuangan kemerdekaan dan cinta
Judul: Perjanjian Dengan Maut
Alih Bahasa: Harijadi S. Hartowardojo
Tahun terbit: 1992
Penerbit: Pustaka Jaya
Tebal: 184
ISBN:
Novel karya Harijadi S. Hartowardojo(HSH) ini membahas tiga topik yang menarik. Ketiga topik tersebut adalah tentang perang kemerdekaan, tentang agama dan kepercayaan hal ghaib, serta tentang hubungan cinta Tionghoa – Jawa. HSH berhasil membangun sebuah cerita yang menghibur dan mengajak pembaca untuk merenungkan ketiga topik tersebut. Jika melihat judulnya, yaitu ”Perjanjian Dengan Maut,” tekanan novel ini memang pada topik pertama, yaitu tentang perjumpaan kepercayaan tentang hal ghaib dengan agama.
Wardjo adalah seorang pejuang. Sebagai seorang pelajar Sekolah Pelayaran di Tegal, Wardjo mengalami siksaan dari Jepang dan latihan-latihan yang berat, sementara makanan yang diterimanya sangat sedikit. Saat tentara Sekutu mulai menyerang Jawa Tengah, Wardjo dan beberapa temannya berupaya untuk membakar kapal milik Jepang yang berlabuh di pelabuhan Tegal, dekat dengan asrama Sekolah Pelayaran. Upaya pembakaran tersebut berhasil.
Wardjo yang berhasil membakar kapal, harus melarikan diri melalui laut ke tempat yang sudah disetujui dengan sesama pelajar yang ikut dalam operasi tersebut. Namun sayang, ia tak menemukan kawan-kawannya. Ia menyangka bahwa kawan-kawannya tersebut mati karena ledakan, atau tertangkap oleh Jepang.
Dalam pelariannya itulah ia diselamatkan oleh penduduk sebuah desa di lereng Gunung Slamet. Wardjo disembunyikan di sebuah gua di Gunung Slamet. Di gua tersebut ia bertemu dengan orang tua yang mengaku dirinya sebagai Mbah Slamet. Dari Mbah Slamet Wardjo mendapatkan sebuah tongkat dari galih asem. Selanjutnya Wardjo diminta oleh Mbah Slamet untuk berjalan menuju selatan ke Karangbolong. Di Karangbolong, Wardjo disembunyikan oleh penduduk.
Pada sebuah malam yang gelap, Wardjo jatuh ke laut saat menyusuri karang yang licin. Ia dibawa ombak menuju ke sebuah kerajaan bawah laut. Kerajaan Nyi Loro Kidul. Karena ia tak bisa menahan napsu, melihat kecantikan Nyi Loro Kidul, Wardjo harus menepati sumpahnya, yaitu tidak boleh menikah sebelum ia berumur 25 tahun. Kalau ia mengingkari janji, maka ia akan diambil oleh Nyi Loro Kidul menjadi budaknya.
Kisah selanjutnya adalah tentang peran Wardjo dalam perang melawan Belanda di masa awal Kemerdekaan. HSH menceritakan dengan sangat detail tentang perang di wilayah Jawa Barat dan wilayah Jawa Tengah, dimana Wardjo terlibat. Strategi perang gerilya digambarkan dengan sangat menegangkan. Tentu saja dalam perang ini Wardjo selalu mendapat bantuan dari Nyi Loro Kidul. Nyi Loro Kidul memberikan bisikan tentang apa yang harus dilakukan oleh Wardjo dalam menghadapi tentara Belanda.
Wardjo juga terlibat dalam pemberantasan PKI yang memberontak dari Madiun.
Melalui perang inilah Wardjo bertemu dengan seorang gadis bernama Ling Ling, anak seorang Tionghoa asal Solo. Ling Ling adalah anggota Palang Merah yang membantu pejuang melawan Belanda. Wardjo jatuh cinta kepada Lina. Sejak bertemu Ling Ling, Wardjo mulai was-was, takut kalau tiba-tiba bertemu dengan Nyi Loro Kidul. Setelah bergumul dengan sumpahnya kepada Nyi Loro Kidul, Wardjo memilih untuk nekat menikahi Lina.
Supaya ia bisa lepas dari sumpah tersebut, Wardjo memeluk agama Khatolik. Tetapi ia tetap tidak mendapatkan kedamaian, meski telah memilih Katholik sebagai agama yang dianutnya. Ia terus dihantui oleh perasaan tidak tenang karena sumpahnya kepada Nyi Loro Kidul. Sebab pilihannya untuk menjadi Katholik tidak didasari pada ketulusan hati, melainkan hanya untuk menghindari Nyi Loro Kidul.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Nyi Loro Kidul. Nyi Loro Kidul bukannya menjemput Wardjo, tetapi malah memberi kelonggaran untuk menjalani cintanya kepada Ling Ling. Namun Wardjo harus memenuhi sumpahnya untuk tidak menikah sampai umur 25 tahun.
Wardjo nekat menikahi Ling Ling, meski umurnya baru 25 tahun. Keputusannya ini membawa akibat kutukan Nyi Loro Kidul menimpanya. Ia tertembak saat naik jeep. Saat menghadapi maut itulah terjadi dialog tentang iman sejati antara Wardjo dengan Nyi Loro Kidul. Nyi Loro Kidul tidak melarang Wardjo menjadi Katholik, tetapi ia harus menjalani kehidupan rohaninya berdasar pada pilihan hati. Bukan karena melarikan diri dari sebuah masalah. Akhirnya Wardjo bertemu dengan Nyi Loro Kidul dan Ling Ling di rumah sakit. Karena pertobatannya, Wardjo berhasil selamat dari kematian.
Sumpahnya kepada Nyi Loro Kidul adalah sebuah perjanjian dengan maut. 951

Penulis Indonesiana
2 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler